CALO adalah Maut

Nantikan Film Pendek "Calo adalah Maut" yang akan tayang tanggal 19 Agustus 2024 hanya di Channel Youtube Pengadilan Agama Sukoharjo
CALO adalah Maut

Selamat Datang Di Pengadilan Agama Sukoharjo

Assalaamualaikum Wr. Wb. Selamat datang di website resmi Pengadilan Agama Sukoharjo. serta dukung Pengadilan Agama Sukoharjo menuju WBK (Wilayah Bebas Korupsi) dan WBBM (Wilayah Birokrasi Bersih Melayani)
Selamat Datang Di Pengadilan Agama Sukoharjo

Hak - hak perempuan dan anak pasca perceraian

ingin tahu Apa saja hak - hak perempuan dan anak pasca perceraian..?
Hak - hak perempuan dan anak pasca perceraian

Awas Hati Hati Akun Palsu

Akun Pengadilan Agama Sukoharjo Hanya yang tertera pada bagian website, selain yang tertera di website berati itu akun palsu yang mengatas namakan pengadilan agama sukoharjo
Awas Hati Hati Akun Palsu

Pesan dari Prof. Dr. H.M.Syarifuddin, S.H., M.H

Pesan dari Prof. Dr. H.M.Syarifuddin, S.H., M.H

Tata Cara Pengajuan Gugatan Sederhana

Tata Cara Pengajuan Gugatan Sederhana

CALO adalah Maut

Nantikan Film Pendek "Calo adalah Maut" yang akan tayang tanggal 19 Agustus 2024 hanya di Channel Youtube Pengadilan Agama Sukoharjo
CALO adalah Maut

CALO adalah Maut

Nantikan Film Pendek "Calo adalah Maut" yang akan tayang tanggal 19 Agustus 2024 hanya di Channel Youtube Pengadilan Agama Sukoharjo
CALO adalah Maut

Putusnya Perkawinan dan Akibatnya bagi Anak

Putusnya Perkawinan dan Akibatnya bagi Anak

(Yusron Trisno Aji, S.Sy., M.H. – Panitera Muda  Gugatan PA Sukoharjo)

  1. Pendahuluan

Sebagai mahkluk sosial, manusia tidak dapat dipisahkan dari masyarakat karena manusia sejak lahir, hidup berkembang dan meninggal dunia selalu di dalam lingkungan masyarakat dan menjadi kodrat manusia untuk meneruskan keturunan dengan cara melangsungkan perkawinan.

Perkawinan merupakan hubungan hukum dan pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang wanita yang telah memenuhi syarat-syarat perkawinan untuk jangka waktu yang selama mungkin.[1] Bahkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan), disebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan perempuan sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[2]

Perkawinan yang bahagia dan kekal dalam kehidupan keluarga merupakan cita-cita dan idaman bagi tiap-tiap manusia baik laki-laki maupun perempuan. Meskipun demikian, faktanya dalam mengarungi bahtera rumah tangga tidak selamanya memperoleh kebahagiaan dan kesejahteraan. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor yang muncul sewaktu-waktu dan tidak terduga sama sekali sebelumnya. Apalagi hidup hari ini kian menantang, perubahan terjadi amat pesat. Oleh karenanya keluarga harus cerdas dalam menghadapi tantangan zaman agar keluarga dapat bertahan dan segera bangkit apabila sedang terjatuh supaya tidak sampai terperosok ke dalam masalah perceraian.

Perceraian (divorce) merupakan suatu peristiwa perpisahan secara resmi antara pasangan suami-istri dan mereka berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Mereka tidak lagi hidup dan tinggal serumah, karena tidak ada ikatan yang resmi. Perceraian merupakan peristiwa yang sangat menekan yang mengakibatkan dampak besar pada kelangsungan hidup suami istri yang mengalaminya. Bahkan pasangan yang bercerai cukup banyak yang mengalami kecemasan, depresi, perasaan marah, perasaan tidak kompeten, penolakan, dan kesepian. Selain membawa dampak buruk pada pasangan  suami istri, perceraian juga menimbulkan banyak masalah pada psiko-emosional anak-anak.[3]

Membahas perceraian, tingkat intensitas angka perceraian di Kabupaten Sukoharjo pasca merebaknya virus covid-19 memang mengalami penurunan, hal ini patut disyukuri. Namun demikian, apapun hal itu, perceraian bukanlah hal yang baik, karena dapat menyisakan bekas sayatan mendalam bukan hanya bagi bekas pasangan suami istri, namun juga anak-anak. Tulisan ini disajikan sebagai pengantar dalam seminar terkait penyebab perceraian dan akibatnya bagi masa depan anak.

2. Angka Perceraian di Kabupaten Sukoharjo

Merujuk pada data Badan Statistik (BPS) yang telah dirilis pada tanggal  28 Februari 2024, jumlah perceraian di Indonesia pada tahun 2023 mencapai 463.654. Jumlah tersebut menurun 10,2% dibandingkan pada tahun sebelumnya sebanyak 516.344 kasus. Perceraian dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor, mulai sosialisai dan kampanye kesiapan emosional, spiritual dan finalsial  bagi para calon pengantin oleh berbagai instansi terkait hingga revisi undang-undang perkawinan yang menyatakan baik calon mempelai laki-laki maupun calon mempelai perempuan harus berusia minimal 19 tahun.

Tingkat menurunnya angka perceraian secara nasional ini ternyata juga diikuti dengan trand menurun angka perceraian di Pengadilan Agama Sukoharjo. Berdasaran data laporan SIPP Pengadilan Agama Sukoharjo, bahwa angka perceraian di Pengadilan Agama Sukoharjo dalam waktu 5 tahun terakhir mengalami penurunan.

  

No.

Perkara

Tahun 2019

Tahun 2020

Tahun 2021

Tahun 2022

Tahun 2023

Bln. Jan-Jul 2024

1

Cerai Gugat

1.118

1079

1089

1049

932

587

2

Cerai Talak

435

386

382

384

355

164

Jumlah

1553

1465

1.471

1433

.1287

751

 Faktor menurunnya angka perceraian baik secara nasional mau pun di lingkup Kabupaten Sukoharjo selain didukung oleh banyaknya program-program pemerintah terkait pembekalan para calon pengantin pra nikah, yang tidak kalah pentingya adalah hasil ijtihad para Hakim Agung Urusan Kamar Agama Mahkamah Agung RI yang telah mengeluarkan petunjuk teknis penanganan perkara bagi para Hakim dalam menyidangkan perkara perceraian, yaitu Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 1 tahun 2022 dan telah diperbaharui dengan Surat Edaran Mahakamh Agung RI Nomor 3 tahun 2023, bahwa perkara perceraian dengan alasan perselisihan dan  pertengkaran  terus menerus dapat dikabulkan jika terbukti suami istri terjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga diikuti dengan telah berpisah tempat tinggal paling singkat 6 bulan, kecuali ditemukan fakta hukum adanya Tergugat/Penggugat melakukan KDRT.

3.Faktor Penyebab Perceraian dan Tingkat Pendidikan

Ditinjau dari aspek yuridis, bahwa sesuai UU Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 pasal 38, bahwa perkawinan dapat putus karena:

  1. Kematian;
  2. Perceraian dan;
  3. Atas putusan pengadilan.

Putusnya perkawinan karena kematian salah satu pihak dari suami ataupun istri sudah jelas merupakan suatu takdir yang tidak dapat dihindari oleh siapapun, sehingga secara otomatis sejak saat itu perkawinan putus. Pemutusan karena sebab-sebab lain dari kematian diberikan suatu pembatasan ketat, sehingga suatu pemutusan yang berbentuk perceraian hidup akan menjadi jalan terakhir setelah jalan lain tidak dapat ditempuh lagi.[1] Putusnya perkawinan karena kematian bukanlah kemauan bersama dari suami istri atau kemauan salah satu pihak namun sudah menjadi takdir atau garis kehidupan dari Allah SWT sehingga kondisi ini tidak dapat dihindari oleh siapapun.

Sedangkan perceraian  selain yang disebabkan karena kematian menurut UU Perkawinan Pasal 39 ayat (1) ditentukan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah usaha untuk mendamaikan kedua belah pihak tidak berhasil.[2] Adapun mengenai pengadilan apa yang berhak menangani perceraian (kompetensi absolut), maka telah diatur dalam UU Perkawinan Pasal 63 yaitu bagi Muslim di Pengadilan Agama dan bagi non Muslim di Pengadilan Negeri.

Menurut Undang Undang No. 7 Tahun 1987 tentang Peradilan Agama, gugatan perceraian dibagi menjadi 2 yaitu cerai talak sebagaimana Pasal 66 dan cerai gugat dijelaskan dalam Pasal 73[3]. Jadi disini menjadi jelas apabila yang mengajukan perceraian adalah pihak suami maka disebut cerai talak sedangkan bila yang mengajukan pihak istri maka disebut cerai gugat.

Secara yuridis, alasan-alasan perceraian menurut UU Perkawinan yang diatur dalam Pasal 39 ayat (2) dijelaskan bahwa, untuk dapat melakukan perceraian harus cukup alasan bahwa antara suami istri tidak akan dapat hidup rukun lagi sebagai suami istri. Untuk pelaksanaannya lebih lanjut diatur dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yaitu perceraian dapat terjadi dengan alasan:

  1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
  2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;
  3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
  4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;
  5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri;
  6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapanakan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.[4]
  7. Suami melanggar taklik talak;
  8. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.[5]

 

Berdasarkan data SIPP Pengadilan Agama Sukoharjo, bahwa penyebab perceraian di Kabupaten Sukoharjo dapat diuraikan sebagai berikut:

No.

Alasan Perceraian

Jumah

1

Peselisihan & Pertengkaran Terus Menerus

461

2

Meninggalkan Salah Satu Pihak

148

3

Ekonomi

53

4

Dihukum Penjara

3

5

Murtad

3

6

Judi

3

7

Cacat Badan

1

8

KDRT

1

Data tersebut didasarkan pada alasan pemohon/penggugat dalam mendalil pada posita pada surat gugatan/permohonan dengan memilihsalah satu ayat pada Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 116 Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.

Dari aspek pendidikan, para pihak yang mengajukan perkara perceraian di Pengadilan Agama Sukoharjo didominasi oleh tingkat lulusan SLTA, kemudian diikuti oleh tingkat lulusan SLTP, lulusan SD, baru kemudian strata satu. Sebagai berikut:

No.

Tingkat Lulusan

Jumlah

1

SLTA

325

2

SLTP

168

3

SD

82

4

Strata I

58

5

Diploma III

25

6

Diploma I

7

7

Tidak Sekolah

2

8

Diploma IV

1

Untuk membaca data tersebut perlu dilakukan kajian lebih lanjut dengan membandingkan kuantitas lulusan tingkat pendidikan dengan data perceraian di Pengadilan Agama Sukoharjo. Artinya bahwa bukan berarti semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin tinggi pula tingkat perceraiannya, sebagaimana data di atas, tingkat lulusan SLTA tingkat perceraiannya lebih dominan dibanding tingkat lulusan SLTP dan SD, hal ini bisa jadi, tingkat pendidikan SD dan SLTP populasinya sudah semakin sedikit dibanding tingkat lulusan SLTA, seiring dengan program wajib belajar 12 tahun

4. Akibat Putusanya Perkawinan bagi Suami Istri

Terjadinya perceraian mengakibatkan konsekuensi-konsekuensi yang harus dipikul oleh pasangan suami isri. Berikut ini dampak perceraian bagi pasangan suami istri menurut Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam

1. Bagi Istri

  • Dalam hal terjadi perebutan hak asuh anak (hadhonah), bila usia anak masih di bawah 12 th (blm mumayiz), pada umumnya hak asuh anak akan diberikan kepada istri (105 KHI);
  • Pembagian harta bersama, pada umumnya akan dilaksanakan dengan prosentase 50% untuk suami dan 50% untuk istri, tanpa memperhitungkan siapa yang mendapatkan (97 KHI);
  • Pembagian harta bersama, pada umumnya akan dilaksanakan dengan prosentase 50% untuk suami dan 50% untuk istri, tanpa memperhitungkan siapa yang mendapatkan (97 KHI);

2. Bagi Suami

  • Suami yang digugat istrinya, suami tidak berkwajiban memberi nafkah iddah (masa tunggu) dan mutah (kenangan);
  • Supaya nafkah anak mempunyai kepastian hukum, istri dapat mengajukan gugatan kumulatif (gabungan) bersamaan dengan gugatan perceraiannya (cerai gugat);
  • Pembagian harta bersama, pada umumnya akan dilaksanakan dengan prosentase 50% untuk suami dan 50% untuk istri, tanpa memperhitungkan siapa yang mendapatkan (97 KHI);
  • Namun demikian, suami tetap berkewajiban menafkahi penghidupan anaknya, baik kebutuhan sehari-hari maupun biaya pendidikannya sampai dg usia 21 tahun

5. Dampak Perceraian bagi Anak

Perceraian merupakan peristiwa yang tidak hanya membuat pasangan suami istri mengalami rasa tertekan, frustasi, dan depresi. Namun dampak tersebut juga berakibat buruk bagi psiko-emosi sang anak. Berikut dampat negatif perceraian orang tua bagi anak:

 

1. Anak mengalami konflik dengan orang tua baru

Kondisi ini kerap terjadi bagi anak yang tumbuh dalam keluarga baru, setelah ayah dan ibu kandungnya bercerai. Beberapa kasus perceraian yang penulis tangani, bahwa beberapa diantaranya suami/istri mengajukan perceraian karena anak bawaannya sering berkonflif dengan ayah/ibu sambungya, hingga merembet pada konflik antara pasangan suami istri baru dan berakhir pada perceraian yang ke dua dan seterusnya.

2. Hubungan anak dengan ayah/ibu tidak harmonis.

Pada kasus ini, si anak umumnya tidak mempunyai hubungan yang harmonis dengan orang tua kandung yang meninggalkannya. Seumpama si anak ikut dengan ibu kandungnya, sedikit banyak ibu kandung akan mempengaruhi dan tidak sedikit si anak diberikan informasi yang tidak baik seputar ayahnya oleh si ibu. Hal ini disebabkan si ibu merasa kawatir apabila si anak ikut dengan ayah dan tidak mau kembali bersama dirinya lagi, di samping itu, belum lagi kalau si ayah sudah terlalu sibuk dengan keluarga barunya, sehingga perhatian kepada anakya tersebut lambat laun berkurang dan bahkan tidak jarang terjadi konflik. Kondisi seperti ini sering penulis dapati dalam perkara gugatan hak asuh anak maupun nafkah anak di Peradilan Agama

3. Anak akan Merasa Bersalah dan penyalahgunaan obat-obat terlarang

Anak yang tumbuh dalam lingkungan keluarga yang broken home sudah secara otomatis akan kehilangan kasih sayang, kehilangan figur yang diharapkan dapat menjadi contoh yang baik bagi dirinya di masa depan. Kondisi ini, apabila orang tua tidak dapat merawat dan memberikan edukasi moral dan agama yang cukup, si anak pada umumnya akan mencari figur di luar rumah. Bila si anak salah memilih figur dan terperosok dalam pergaulan yang bebas, tidak jarang si anak berlindung pada obat-obat terlarang untuk mendapatkani ketenagan dari depresi masalah keluarga

4. Pecapaian tingkat pendidikan dan kondisi ekonomi yang rendah, serta mengalami ketidak stabilan dalam pernikahan mereka

Perceraian dapat membawa anak tumbuh serba kekurangan/di bawah kemiskinan, hal ini diakibatkan kurangnya perhatian dari ayah/ibu yang telah meninggalkannya, yang semestinya ia mendapatkan hak pendidikan dan gizi yang cukup untuk tumbuh bila mana ayah ibunya tidak bercerai. Pendidikan yang rendah dan gizi yang kurang dapat mempengaruhi harapan si anak untuk hidup lebih layak di masa depan. Karena bagaimana pun juga, pendidikan yang tinggi dapat membawa peluang mendapatkan pekerjaan yang layak sehingga dapat menjadi pendukung kuatnya perkawinan si anak dalam membangun rumah tangga kelak dari segi ekonomi

5. Tumbuh perasaan benci, dendam maupun amarah terhadap kedua orang tuanya

Anak korban perceraian dari kedua orang tuanya sering kali menyimpan rasa dendam kepada ayah ibunya. Karena ia merasa atas ulah kedua orang tuanyalah ia merasa tidak mendapatkan curah kasih sayang seperti anak-anak pada umumnya. Emosi negatif seperti ini apabila tidak dapat diurai, sedikit banyak akan mempengaruhi turunnya rasa hormat dan bakti si anak kepada kedua orang tuanya

6. Sikap anak menjadi pembangkan, pemberontak,  kacau balau, pesimis dan emosi tidak stabil

Dampak negatif perceraian orang tua bagi si anak salah satunya adalah perubahan sikap si anak yang awalnya penurut, sopan dan berbakti kepada orang tua dapat berubah menjadi pribadi yang membangkang, pemberontak, kacau balau, pesimis dan tidak stabil. Sikap yang buruk tentu dapat mempengaruhi tingkat rendahnya kesuksesan dalam meraih mimpi-mimpi di masa depan. Selain itu, apabila sikap buruk tersebut belum dapat dihilangkan sebelum ia membangun kehidupan rumah tangga, kondisi rumah tangganya juga dapat mengalami hal serupa dengan orang tuanya. Penulis tidak sedikit mendapati kisah rumah tangga yang berakhir dengan perceraian dari pasangan di mana orang tuanya dulu juga gagal dalam membangun rumah tangga

7. Tertekan, perasaan tidak aman dan timbul rasa malu dilingkungan sekitarnya

Rumah tangga yang damai dan tentram adalah sebaik-baik tempat untuk kembali dan berlindung bagi anak, sekali pun rumah tangga tersebut tidak bergelimang harta. Namun apa jadinya, bila mana rumah tangga tersebut pecah, tentu si anak tiada tempat lagi untuk sekedar berlindung,  ia kan mengalami rasa malu dan tidak percaya diri di hadapan teman-temannya. Kondisi ini dapat memperburuk tingkat optimisme si anak dalam menatap masa depan dalam menggapai mimpi

8. Apabila kehidupan sebelumnya ada kebahagiaan, lalu orang tua bercerai, maka anak akan menjadi depresi berat

Perjalanan hidup memang tidak ada yang tahu, terkadang seseorang di awal perkawinan, hidup penuh dengan kebahagiaan dan ketenagnagn dalam rumah tangga. Namun, bila mana badai itu datang secara tiba-tiba dan karena bahtera rumah tangga kurang terkontrol dengan baik, maka bahtera rumah tangga yang awalnya damai, tenang dan tenteram dapat hancur berkeping-keping. Kondisi ini sangat berbahaya bagi si anak yang sebelumnya terbiasa hidup bahagia dan tiba-tiba tanpa terdidik dengan mental yang kuat dapat mengakibatkan si anak mengalami depresi berat, bahka apabila tidak mendapatkan penanganganan khusus dari profesional dia dapat mengindap sakit jiwa

9. Anak bertumbuh dalam pergaulan yang bebas dan berpotensi pada pernikahan dini

Salah satu dampak negaif anak yang tumbuh dari broken home adalah anak terbiasa dengan pergaulan bebas karena merasa tidak ada figur di dalam rumah yang patut untuk ia contoh. Pergaulan yang salah dapat mengakibatkan terjerumusnya si anak dalam sex bebas. Kondisi seperti ini tidak sedikit penulis dapati dalam perkara permohonan dispensasi kawin, karena si anak baik secara sendiri atau dengan calon suami/istrinya  sama-sama masih di bawah usia 19 tahun, batas minimal perkawinan yang diizinkan oleh undang undang untuk menikah. Dan umumnya perkara permohonan dispensasi nikah disebabkan karena calon pengantin perempuan telah hamil duluan akibat pergaulan bebas

Setelah menikah, masalah tidak berhenti sampai di situ, ia akan mengalami problem-problem kehidupan yang lebih besar lagi, yang sebenarnya belum saatnya ia mendapatkannya, seperti masalah ekonomi untuk menghidupi keluarga dan masalah lainnya serta resiko terburuk apabila tidak dapat menjalaninya dengan ketabahan yang terjadi adalah perceraian. Kasus perceraian yang terjadi di Peradilan Agama dengan dilatarbelakangi oleh permohonan dispensasi kawin tidak lah sedikit. Wassalam.

 

REFERENSI

Amato, P. R, “The consequences of divorce for adults and children”, Journal of marriage and the family. Vol. 62, No. 4.  November 2000.

Gähler, M. “To Divorce Is to Die a Bit”: A Longitudinal Study of Marital Disruption and Psychological Distress Among Swedish Women and Men. (The Family Joural: Counseling and Therapy for Couples and Families) 2006.

Rien G. Kartasapoetra, Pengantar Ilmu Hukum Lengkap, Cetakan I, (Penerbit Bina Aksara, Jakarta), 1988.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor I Tahun 1974 tentang Perkawinan, dalam Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentang Peradilan Agama, (Dirjen Badan Peradilan Agama MA RI), 2010.

Saleh K Wantjik, Hukum dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, (Alumni, Bandung, 1982).

Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Jakarta, Pradnya Paramita), 1996.

Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam

Justice For All, Pelayanan Prima Putusan Berkualitas


Hubungi Kami

 Pengadilan Agama Sukoharjo

  Jl. Rajawali 10 Sukoharjo - 57512  

Kabupaten Sukoharjo Provinsi Jawa Tengah

  (0271) 593088,  Fax. (0271) - 6595002

 Email : kepaniteraan@gmail.com

 Delegasi/Tabayun : delegasisukoharjo@gmail.com

 website : https://www.pa-sukoharjo.go.id/

Lokasi Pengadilan